Patofisiologi
Kemoreseptor1
Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh kemoreseptor sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan peningkatan aktivitas motorik respirasi. Aktivitas motorik respirasi ini dapat menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya dispnea. Menurut studi, terdapat pula peran serta kemoreseptor karotid yang langsung memberikan impuls ke korteks serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan secara luas.
Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya lebih dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik dibanding aktivitas otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala umum hiperapnia akut berupa urgensi untuk bernapas yang sangat menonjol. Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan parsial karbondioksida pada pasien-pasien, khususnya yang mengalami quadriplegia maupun yang mengalami paralisis otot pernapasan. Penderita sindrom hipoventilasi sentral kongenital yang mengalami desentisasi respons ventilatorik terhadap CO2 tidak merasakan sensasi sesak napas ketika penderita tersebut henti napas atau diminta untuk menghirup kembali CO2 yang telah dihembuskan. Dengan kata lain, mekanisme yang turut serta dalam sensasi sesak napas ini adalah kenaikan pCO2 dan penurunan pO2 dibawah normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi normal, tekanan parsial oksigen harus diturunkan di bawah 6.7 kPa untuk bisa menghasilkan sensasi sesak napas.
Hiperkapnia2
Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab langsung terjadinya dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi terjadinya dispnea melalui peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot respiratorik. Pada pasien-pasien yang diberikan agen blokade neuromuskular, ketika mereka diberikan ventilator dan tekanan tidal CO2 dinaikkan sebanyak 5 mmHg, seluruh subjek sontak merasakan sensasi sesak napas. Namun, pada pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik umumnya, tetap tidak dijumpai kaitan antara hiperkapnia dan dispnea. Contohnya, pasien COPD yang biasanya mengakami hiperkapnia kronik tidak serta merta mengalami dispnea. Menurut studi, hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan parsial karbondioksida tersebut dimodulasi dengan perubahan pH pada kemoreseptor sentral, sehingga sensasi yang dihasilkan berbeda pula.
Hipoksia2
Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung (indepenen, tidak harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi hipoksia dengan terapi oksigen mampu membuat keadaan penderita sesak napas membaik). Namun, hubungan antara hipoksia dengan dispnea tidak absolut; beberapa pasien dengan dispnea tidak mengalami hipoksia, begitu pula sebaliknya.
Metaboreseptor1
Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh produk akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan sumber sinyal aferen yang berakibat pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika seseorang berolahraga berat, jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun hiperkapnia, namun tendensi untuk mengalami gejala sesak napas cenderung tinggi. Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan di awal-awal latihan. Sensasi dispnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada pada otot rangka. Namun, kondisi detailnya belum terlalu diketahui.
Reseptor Vagal1
Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas. Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi memonitor perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan temperaturnya. Ada setidaknya empat atau lima tipe-tipe reseptor pernapasan selain reseptor tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-reseptor ini disinyalir mampu menimbulkan sensasi dispnea, meskipun mekanismenya sendiri masih kompleks. Reseptor-reseptor utaanya adalah Slowly Adapting Stretch Receptors (SARS), Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor Serat-C.
SAR
SAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini berlanjut ke serat aferen bermyelin di vagus. Inhalasi karbondioksida, anestetik volatil, dan furosemid dinilai mampu mempengaruhi kerja reseptor ini. Stimulasi reseptor ini dapat menurunkan sensasi dispnea. Inhalasi karbondioksida menghambat aktivitas mereka dengan kerja langsung ke kanal K+ yang sensitif terhadap 4-aminopiridin. Sementara, anestetik tertentu dapat menginhibisi atau menstimulasi reseptor tergantung konsentrasi dan tipe reseptor SAR-nya. Lebih lanjut, furosemid bekerja secara tidak langsung terhadap reseptor sensorik di epitel saluran napas, dimana SAR mampu disensitisasi dengan inhalasinya.
RAR
RAR dikenal sebagai terminal tak bermielin yang terhubung dengan serat aferen bermyelin nervus vagus (Aδ). Reseptor ini beradaptasi cepat untuk mempertahankan inflasi dan deflasi paru. RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan seperti ammonia, uap eter, asap rokok, serta oleh mediator imunologik dan perubahan patologik saluran napas hingga paru. Pneumotoraks juga dapat menstimulasi RAR, sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap kejadian dispnea. Inhalasi furosemid mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi bahan kimia ini mampu memperingan dispnea.
Reseptor Serat-C1
Dua kelompok reseptor serat-C memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial atau pulmonal. Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmoner, atau reseptor J. Lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon peningkatan cairan interstisial diluar kapiler. Reseptor Serat-C Pulmoner berasal dari parenkim paru (injeksi obat ke arteri pulmoner dapat berpengaruh ke kerja reseptor ini), sementara Reseptor Serat-C Bronkial menginervasi mukosa saluran napas (injeksi obat ke arteri bronkial dapat berpengaruh ke reseptor ini). Reseptor pulmoner insensitif terhadap autakoid seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin, sementara serat bronkial sensitif terhadap bahan kimia intrinsik tersebut. Namun, kedua grup reseptor ini memiliki respon yang sama terhadap inhalasi anestetik volatil.
Kongesti paru adalah stimulan yang kuat untuk reseptor ini, namun hal ini tidak memiliki efek yang kuat terhadap terjadinya sesak napas kecuali disertai aktivitas berat. Stimulan lainnya adalah capsaicin, namun efeknya hanya menyebabkan sensasi ringan di dada. Dengan kata lain, adanya induksi langsung ke reseptor ini tidak sontak menyebabkan gejala sesak napas, harus ada mekanisme penyerta lain atau aktivitas dari reseptor lain.
Reseptor Dinding Dada1
Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak dan dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot interkostal (grup I, II, atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks serebral.
Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini dapat menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot interkostalis dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen nervus frenikus juga terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma. Aktivitas ini mempengaruhi propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea.
Jaras Dispnea1
Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea, dan mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun, diketahui bahwa aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut ke batang otak, kemudian ke area talamus.
Dispnea dibuktikan mengaktivasi beberapa area di otak, seperti insula kanan anterior, vermis serebelum, amygdala, korteks singulum anterior, dan korteks singulum posterior. Area ini juga diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak menyenangkan lainnya (haus, mual).
Perintah Motorik dan Central Corollary Discharge1
Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah aktivitas motorik respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim perintah eferen ke otot-otot ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke korteks sensorik. Hubungan ini yang disebut central corollary discharge. Akibatnya, kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas timbul.
Konsep Afferent Mismatch1,3
Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari mekanoreseptor perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai contoh, ketika kita merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanisme central corollary discharge sebelumnya, kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan untuk menarik napas. Usaha tambahan ini justru mampu memperparah dispnea dengan menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas, sementara otot-otot ventilator melemah akibat peningkatan beban mekanik.
Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu mampu dipicu oleh mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat hubungan yang seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara yang masuk. Namun, akibat adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran udara yang masuk dengan usaha yang diberikan oleh otot-otot dada. Namun, dispnea tidak semata-mata disebabkan oleh kelainan dari kerja otot dinding dada (dalam kasus hiperkapnia, sesoerang juga mampu mengalami sensasi dispnea dengan adanya tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep dari Campbell dan Howell tadi akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai merupakan akibat dari disosiasi sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi aferen yang didapatkan. Konsep ini dinamakan disosiasi neuromekanik.
Dispnea Pada Penyakit Tertentu2
Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea tidak spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan untuk bisa menimbulkan sensasi dispnea pada penyakit-penyakit tersebut. Pengetahuan mengenai patofisiologi yang mendasari penyakit-penyakit (seperti asma, COPD) menjadi dasar hipotesis mekanisme dispnea pada penyakit ini.
Pada asma, beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang dibutuhkan untuk melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika terjadi hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian ini mampu mengubah radius kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage. Akibatnya, dibutuhkan usaha tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Pada asma, sensasi dispnea juga diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal.
Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis, dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-otot respirasi yang melemah terstimulasi. Output neuromotor yang meningkat ini, melalui jalur central corollary discharge, dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik. Akibatnya, terjadi dispnea.
Pada pasien COPD, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi terhadap patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada COPD juga menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita penyakit dengan kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik tersebut dapat dideteksi oleh serabut aferen vagus.
Pasien-pasien yang menerima treatment ventilasi mekanik biasanya sesak napas meskipun kerja otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan peningkatan tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidal pasien.
Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau pertukaran gas menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada laporan kasus, dispnea yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati dengan lisis bekuan darah. Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di pembuluh darah pulmoner atau atrium kanan serta serabut C di pembuluh paru memediasi sensasi tersebut.
sumber: medicinesia.com
Kemoreseptor1
Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh kemoreseptor sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan peningkatan aktivitas motorik respirasi. Aktivitas motorik respirasi ini dapat menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya dispnea. Menurut studi, terdapat pula peran serta kemoreseptor karotid yang langsung memberikan impuls ke korteks serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan secara luas.
Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya lebih dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik dibanding aktivitas otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala umum hiperapnia akut berupa urgensi untuk bernapas yang sangat menonjol. Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan parsial karbondioksida pada pasien-pasien, khususnya yang mengalami quadriplegia maupun yang mengalami paralisis otot pernapasan. Penderita sindrom hipoventilasi sentral kongenital yang mengalami desentisasi respons ventilatorik terhadap CO2 tidak merasakan sensasi sesak napas ketika penderita tersebut henti napas atau diminta untuk menghirup kembali CO2 yang telah dihembuskan. Dengan kata lain, mekanisme yang turut serta dalam sensasi sesak napas ini adalah kenaikan pCO2 dan penurunan pO2 dibawah normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi normal, tekanan parsial oksigen harus diturunkan di bawah 6.7 kPa untuk bisa menghasilkan sensasi sesak napas.
Hiperkapnia2
Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab langsung terjadinya dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi terjadinya dispnea melalui peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot respiratorik. Pada pasien-pasien yang diberikan agen blokade neuromuskular, ketika mereka diberikan ventilator dan tekanan tidal CO2 dinaikkan sebanyak 5 mmHg, seluruh subjek sontak merasakan sensasi sesak napas. Namun, pada pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik umumnya, tetap tidak dijumpai kaitan antara hiperkapnia dan dispnea. Contohnya, pasien COPD yang biasanya mengakami hiperkapnia kronik tidak serta merta mengalami dispnea. Menurut studi, hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan parsial karbondioksida tersebut dimodulasi dengan perubahan pH pada kemoreseptor sentral, sehingga sensasi yang dihasilkan berbeda pula.
Hipoksia2
Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung (indepenen, tidak harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi hipoksia dengan terapi oksigen mampu membuat keadaan penderita sesak napas membaik). Namun, hubungan antara hipoksia dengan dispnea tidak absolut; beberapa pasien dengan dispnea tidak mengalami hipoksia, begitu pula sebaliknya.
Metaboreseptor1
Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh produk akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan sumber sinyal aferen yang berakibat pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika seseorang berolahraga berat, jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun hiperkapnia, namun tendensi untuk mengalami gejala sesak napas cenderung tinggi. Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan di awal-awal latihan. Sensasi dispnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada pada otot rangka. Namun, kondisi detailnya belum terlalu diketahui.
Reseptor Vagal1
Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas. Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi memonitor perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan temperaturnya. Ada setidaknya empat atau lima tipe-tipe reseptor pernapasan selain reseptor tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-reseptor ini disinyalir mampu menimbulkan sensasi dispnea, meskipun mekanismenya sendiri masih kompleks. Reseptor-reseptor utaanya adalah Slowly Adapting Stretch Receptors (SARS), Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor Serat-C.
SAR
SAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini berlanjut ke serat aferen bermyelin di vagus. Inhalasi karbondioksida, anestetik volatil, dan furosemid dinilai mampu mempengaruhi kerja reseptor ini. Stimulasi reseptor ini dapat menurunkan sensasi dispnea. Inhalasi karbondioksida menghambat aktivitas mereka dengan kerja langsung ke kanal K+ yang sensitif terhadap 4-aminopiridin. Sementara, anestetik tertentu dapat menginhibisi atau menstimulasi reseptor tergantung konsentrasi dan tipe reseptor SAR-nya. Lebih lanjut, furosemid bekerja secara tidak langsung terhadap reseptor sensorik di epitel saluran napas, dimana SAR mampu disensitisasi dengan inhalasinya.
RAR
RAR dikenal sebagai terminal tak bermielin yang terhubung dengan serat aferen bermyelin nervus vagus (Aδ). Reseptor ini beradaptasi cepat untuk mempertahankan inflasi dan deflasi paru. RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan seperti ammonia, uap eter, asap rokok, serta oleh mediator imunologik dan perubahan patologik saluran napas hingga paru. Pneumotoraks juga dapat menstimulasi RAR, sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap kejadian dispnea. Inhalasi furosemid mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi bahan kimia ini mampu memperingan dispnea.
Reseptor Serat-C1
Dua kelompok reseptor serat-C memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial atau pulmonal. Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmoner, atau reseptor J. Lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon peningkatan cairan interstisial diluar kapiler. Reseptor Serat-C Pulmoner berasal dari parenkim paru (injeksi obat ke arteri pulmoner dapat berpengaruh ke kerja reseptor ini), sementara Reseptor Serat-C Bronkial menginervasi mukosa saluran napas (injeksi obat ke arteri bronkial dapat berpengaruh ke reseptor ini). Reseptor pulmoner insensitif terhadap autakoid seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin, sementara serat bronkial sensitif terhadap bahan kimia intrinsik tersebut. Namun, kedua grup reseptor ini memiliki respon yang sama terhadap inhalasi anestetik volatil.
Kongesti paru adalah stimulan yang kuat untuk reseptor ini, namun hal ini tidak memiliki efek yang kuat terhadap terjadinya sesak napas kecuali disertai aktivitas berat. Stimulan lainnya adalah capsaicin, namun efeknya hanya menyebabkan sensasi ringan di dada. Dengan kata lain, adanya induksi langsung ke reseptor ini tidak sontak menyebabkan gejala sesak napas, harus ada mekanisme penyerta lain atau aktivitas dari reseptor lain.
Reseptor Dinding Dada1
Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak dan dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot interkostal (grup I, II, atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks serebral.
Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini dapat menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot interkostalis dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen nervus frenikus juga terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma. Aktivitas ini mempengaruhi propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea.
Jaras Dispnea1
Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea, dan mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun, diketahui bahwa aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut ke batang otak, kemudian ke area talamus.
Dispnea dibuktikan mengaktivasi beberapa area di otak, seperti insula kanan anterior, vermis serebelum, amygdala, korteks singulum anterior, dan korteks singulum posterior. Area ini juga diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak menyenangkan lainnya (haus, mual).
Perintah Motorik dan Central Corollary Discharge1
Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah aktivitas motorik respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim perintah eferen ke otot-otot ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke korteks sensorik. Hubungan ini yang disebut central corollary discharge. Akibatnya, kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas timbul.
Gambar 1. Central Corollary Discharge
Konsep Afferent Mismatch1,3
Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari mekanoreseptor perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai contoh, ketika kita merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanisme central corollary discharge sebelumnya, kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan untuk menarik napas. Usaha tambahan ini justru mampu memperparah dispnea dengan menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas, sementara otot-otot ventilator melemah akibat peningkatan beban mekanik.
Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu mampu dipicu oleh mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat hubungan yang seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara yang masuk. Namun, akibat adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran udara yang masuk dengan usaha yang diberikan oleh otot-otot dada. Namun, dispnea tidak semata-mata disebabkan oleh kelainan dari kerja otot dinding dada (dalam kasus hiperkapnia, sesoerang juga mampu mengalami sensasi dispnea dengan adanya tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep dari Campbell dan Howell tadi akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai merupakan akibat dari disosiasi sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi aferen yang didapatkan. Konsep ini dinamakan disosiasi neuromekanik.
Dispnea Pada Penyakit Tertentu2
Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea tidak spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan untuk bisa menimbulkan sensasi dispnea pada penyakit-penyakit tersebut. Pengetahuan mengenai patofisiologi yang mendasari penyakit-penyakit (seperti asma, COPD) menjadi dasar hipotesis mekanisme dispnea pada penyakit ini.
Pada asma, beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang dibutuhkan untuk melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika terjadi hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian ini mampu mengubah radius kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage. Akibatnya, dibutuhkan usaha tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Pada asma, sensasi dispnea juga diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal.
Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis, dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-otot respirasi yang melemah terstimulasi. Output neuromotor yang meningkat ini, melalui jalur central corollary discharge, dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik. Akibatnya, terjadi dispnea.
Pada pasien COPD, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi terhadap patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada COPD juga menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita penyakit dengan kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik tersebut dapat dideteksi oleh serabut aferen vagus.
Pasien-pasien yang menerima treatment ventilasi mekanik biasanya sesak napas meskipun kerja otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan peningkatan tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidal pasien.
Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau pertukaran gas menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada laporan kasus, dispnea yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati dengan lisis bekuan darah. Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di pembuluh darah pulmoner atau atrium kanan serta serabut C di pembuluh paru memediasi sensasi tersebut.
sumber: medicinesia.com
Tekanan darah rata-rata merupakan kekuatan utama untuk
mendorong darah ke jaringan. Tekanan darah tersebut harus diatur supaya
tidak berlebih maupun kurang. Jika tekanan darah kurang, dikhawatirkan
darah tidak dapat menjangkau organ-organ yang membutuhkan terutama
otak. Jika berlebih, jantung akan bekerja terlalu keras juga terjadi
peningkatan resiko kerusakan vaskular maupun rupturnya pembuluh darah
kecil. 1
Meskipun terdapat kontrol tekanan darah, terutama yang dilakukan oleh baroreseptor di dalam sistem sirkulasi, kadangkala mekanisme tersebut tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, seseorang dapat mengalami hipotensi (tekanan darah di bawah 100/60mmHg) maupun hipertensi (tekanan darah di atas 140/90 mmHg).
Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer dan sekunder berdasarkan penyebabnya.
Obesitas, salah satu faktor yang juga sering berkaitan dengan obesitas, memiliki keterkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Peningkatan berat badan dan adiposit dapat berkembang menjadi hipertensi bahkan pada usia awal sekalipun. Obesitas sentral atau android lebih berkaitan dengan resistensi insulin dan DM tipe-2, hipertensi, dan dislipidemia daripada obesitas perifer atau ginekoid.
Peningkatan Kontraktilitas Otot Polos Vaskular
Peningkatan resistensi vaskular perifer dan kontraktilitas otot polos vascular berespon terhadap agonist seperti norepinefrin dan angiotensin II menjadi dasar terjadinya hipertensi pada kedua tipe diabetes. Pada tikus yang mengalami resistensi insulin memberikan respon yang berlebihan terhadap agonis-agonis tersebut. Namun, alasan secara detail mengapa terjadi respon berlebih tersebut masih belum jelas. Kemungkinan mekanisme adalah kalsium bebas sitoplasma pada otot polos vaskular, yang merupakan salah satu penentu kontraktilitas otot polos, mengalami peningkatan.
Insulin memiliki peranan dalam regulasi pompa Ca2+-ATPase dan Na+, K+-ATPase. Defisiensi insulin atau resistensi dapat mengganggu pompa tersebut. Akibatnya terjadi peningkatan Ca2+. Pompa pertukaran Na+-H+ yang distimulasi oleh kadar fisiologis insulin juga terpengaruh. Pada kasus resistensi, pompa tersebut mengalami peningkatan. Antiporter Na+-H+ merupakan sistem transport yang berkaitan dengan regulasi pH intraseluler, volume sel, dan pertumbuhan sel serta pertukaran Ca2+. Peningkatan aktivitas antiport tersebut berkaitan dengan peningkatan Ca2+ sel.
Hiperglikemia
Pada hiperglikemia kronis, dapat terjadi peningkatan rigiditas vaskular dengan mempromosikan perubahan struktural vaskular. Pada konsentrasi yang tinggi, glukosa memberikan efek toksik pada sel endotelial sehingga terjadi penurunan relaksasi endothelial-mediated vascular, yang akan meningkatkan konstriksi dan hiperplasia sel otot polos vaskular serta remodeling vaskular.
Kadar glukosa yang tinggi dapat menginduksi overekspresi fibronektin dan kolagen IV pada sel endotel vaskular manusia yang dikultur. Peningkatan tersebut berpengaruh pada disfungsi endotel. Juga, fibronektin merupakan glikoprotein yang jika terjadi overekspresi dapat berdampak pada penebalan membran basal glomerulus dan mesangium.
Selain itu, terdapat bukti bahwa hiperglikemi dapat mempercepat pembentukan produk glikosilasi nonenzimatik yang berkumpul pada protein dinding pembuluh. Glikosilasi merupakan ikatan kovalen antara glukosa darah dengan sel darah merah, khususnya hemoglobin (HA1c). Normalnya, hanya ada sekitar 4,5%-6% glukosa yang terikat.4 Pengikatan protein yang mengandung hasil akhir glikosilasi kepada makrofag menginduksi sintesis dan sekresi tumor necrosis factors dan IL-1. Sitokin tersebut, akan menstimulasi sel lain untuk meningkatkan sintesis protein dan berproliferasi. 3
sumber: medicinesia.com
Meskipun terdapat kontrol tekanan darah, terutama yang dilakukan oleh baroreseptor di dalam sistem sirkulasi, kadangkala mekanisme tersebut tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, seseorang dapat mengalami hipotensi (tekanan darah di bawah 100/60mmHg) maupun hipertensi (tekanan darah di atas 140/90 mmHg).
Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer dan sekunder berdasarkan penyebabnya.
- Hipertensi primer
- Hipertensi renal
- Hipertensi endokrin
- Hipertensi neurogenik
- Hipertensi sekunder
- Defek pengaturan garam oleh ginjal
- Kelebihan intake garam
- Diet rendah buah dan sayuran (rendah K+ dan Ca2+)
- Abnormalitas membran plasma (defek pompa Na+-K+)
- Variasi gen yang mengkode angiotensinogen
- Substansi mirip digitalis endogen
- Abnormalitas NO, endotelin, atau senyawa kimia lain yang bekerja sebagai vasoaktif lokal
- h. Kelebihan vasopressin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada penderita diabetes adalah dua
kali daripada mereka yang tidak diabetes. Kaitan yang paling utama
adalah pada penderita diabetes terjadi komplikasi yang progresif dan
akseleratif baik pada mikrovaskular (retinopati dan nefropati) serta
makrovaskular (aterosklerosis). Penyakit makrovaskular merupakan
mayoritas kematian pada pasien dengan non-insulin-dependent diabetes
mellitus (NIDDM). 2
Nefropati diabetes merupakan faktor penting terjadinya hipertensi pada penderita diabetes, terutama IDDM (diabetes mellitus tipe-1).2 Pasien dengan DM tipe-1 biasanya akan memiliki tekanan darah yang normal sebelum terjadinya proteinuria yang persisten (ekskresi albumin lebih besar dari 300-500 mg/hari). Jika sudah terjadi protenuria, tekanan darah sistoliknya akan mulai naik sekitar 1 mmHg/bulan. Pada diabetes nefropati, terjadi interelasi antara peningkatan tekanan darah, mikroalbuminuria, penurunan creatinine clearence dan peningkatan resistensi vaskular renal. Meskipun begitu, etiologi pada mayoritas penderita diabetes tidak bisa dijelaskan dengan dasar penyakit renal tersebut. Pada pasien ini, hipertensinya adalah jenis hipertensi esensial. 3 Sementara pada NIDDM (diabetes mellitus tipe-2), hipertensi tidak terlalu berkaitan dan sering terjadi sebelum diagnosis diabetes. 2 3
Tanda hipertensi pada penderita tipe-1 maupun tipe-2 adalah terjadinya peningkatan resistensi perifer vaskular. Aterosklerosis prematur pada penderita diabetes dapat menyebabkan penuaan prematur juga pada vaskularisasi. Hal tersebut nantinya berperan dalam prevalensi hipertensi sistolik terisolasi dan penurunan sensitivitas baroreseptor pada penderita DM bahkan yang masih muda.Penurunan sensitifitas refleks baroreseptor dapat menyebabkan perubahan inervasi kardiak sehingga mungkin terjadi hipotensi ortostatik pada penderita DM dengan hipertensi.
Peningkatan Exchangeable Sodium
Peningkatan kadar sodium juga diperkirakan berperan pada hipertensi penderita DM. Sodium dapat meningkat sekitar 10% bahkan pada penderita diabetes yang normotensif. Penderita diabetes memiliki gangguan kemampuan untuk mengeksresikan intravenous saline load dan gagal untuk menambahkan sodium ke dalam urin untuk ekskresikan. Mekanisme retensi sodium pada diabetes sebenarnya masih kurang begitu diketahui. Namun, diperkirakan berkaitan dengan peningkatan reabsorpsi glukosa. Selain itu, dipostulasikan juga bahwa retensi sodium pada diabetes berkaitan dengan penurunan kemampuan untuk melepaskan faktor natriuretik seperti dopamin, prostaglandin dan kallikrein serta efek tubular insulin. 3
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia
Resistensi insulin serta insulinemia berperan dalam patogenesis hipertensi yang berkaitan dengan metabolisme abnormal dari karbohidrat. Kadar insulin yang berlebih juga merupakan salah satu faktor resiko penyakit kardiovaskular. Faktor resiko lainnya adalah terkait metabolisme abnormal lipid, fungsi platelet dan faktor pembekuan. 3
Pada NIDDM, hipertensi juga umumnya ada sebagai bagian dari terjadinya resistensi insulin atau sindrom metabolik. Meskipun sebenarnya mekanismenya belum begitu diketahui, disfungsi endotel merupakan faktor penting pada tingginya insidensi penyaklit vaskular pada individu dengan kedua kondisi di atas. 2
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berkaitan erat dengan peningkatan kadar trigliserida plasma, rendahnya HDL, dan peningkatan kadar LDL-kolesterol total. Hiperinsulinemia juga berkaitan dengan aterosklerosis dengan mempengaruhi fibrinolisis. Efek dari insulin yang diduga berkaitan dengan aterosklerosis adalah
Nefropati diabetes merupakan faktor penting terjadinya hipertensi pada penderita diabetes, terutama IDDM (diabetes mellitus tipe-1).2 Pasien dengan DM tipe-1 biasanya akan memiliki tekanan darah yang normal sebelum terjadinya proteinuria yang persisten (ekskresi albumin lebih besar dari 300-500 mg/hari). Jika sudah terjadi protenuria, tekanan darah sistoliknya akan mulai naik sekitar 1 mmHg/bulan. Pada diabetes nefropati, terjadi interelasi antara peningkatan tekanan darah, mikroalbuminuria, penurunan creatinine clearence dan peningkatan resistensi vaskular renal. Meskipun begitu, etiologi pada mayoritas penderita diabetes tidak bisa dijelaskan dengan dasar penyakit renal tersebut. Pada pasien ini, hipertensinya adalah jenis hipertensi esensial. 3 Sementara pada NIDDM (diabetes mellitus tipe-2), hipertensi tidak terlalu berkaitan dan sering terjadi sebelum diagnosis diabetes. 2 3
Tanda hipertensi pada penderita tipe-1 maupun tipe-2 adalah terjadinya peningkatan resistensi perifer vaskular. Aterosklerosis prematur pada penderita diabetes dapat menyebabkan penuaan prematur juga pada vaskularisasi. Hal tersebut nantinya berperan dalam prevalensi hipertensi sistolik terisolasi dan penurunan sensitivitas baroreseptor pada penderita DM bahkan yang masih muda.Penurunan sensitifitas refleks baroreseptor dapat menyebabkan perubahan inervasi kardiak sehingga mungkin terjadi hipotensi ortostatik pada penderita DM dengan hipertensi.
Peningkatan Exchangeable Sodium
Peningkatan kadar sodium juga diperkirakan berperan pada hipertensi penderita DM. Sodium dapat meningkat sekitar 10% bahkan pada penderita diabetes yang normotensif. Penderita diabetes memiliki gangguan kemampuan untuk mengeksresikan intravenous saline load dan gagal untuk menambahkan sodium ke dalam urin untuk ekskresikan. Mekanisme retensi sodium pada diabetes sebenarnya masih kurang begitu diketahui. Namun, diperkirakan berkaitan dengan peningkatan reabsorpsi glukosa. Selain itu, dipostulasikan juga bahwa retensi sodium pada diabetes berkaitan dengan penurunan kemampuan untuk melepaskan faktor natriuretik seperti dopamin, prostaglandin dan kallikrein serta efek tubular insulin. 3
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia
Resistensi insulin serta insulinemia berperan dalam patogenesis hipertensi yang berkaitan dengan metabolisme abnormal dari karbohidrat. Kadar insulin yang berlebih juga merupakan salah satu faktor resiko penyakit kardiovaskular. Faktor resiko lainnya adalah terkait metabolisme abnormal lipid, fungsi platelet dan faktor pembekuan. 3
Pada NIDDM, hipertensi juga umumnya ada sebagai bagian dari terjadinya resistensi insulin atau sindrom metabolik. Meskipun sebenarnya mekanismenya belum begitu diketahui, disfungsi endotel merupakan faktor penting pada tingginya insidensi penyaklit vaskular pada individu dengan kedua kondisi di atas. 2
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berkaitan erat dengan peningkatan kadar trigliserida plasma, rendahnya HDL, dan peningkatan kadar LDL-kolesterol total. Hiperinsulinemia juga berkaitan dengan aterosklerosis dengan mempengaruhi fibrinolisis. Efek dari insulin yang diduga berkaitan dengan aterosklerosis adalah
- menstimulasi proliferasi subintimal otot polos dan fibroblas,
- meningkatkan uptake dan esterifikasi lipoprotein-kolesterol oleh otot polos
- Meningkatkan pelepasan platelet-derived growth factor dan insulin-like growth factor
- Meningkatkan sintesis jaringan ikat
- Menurunkan deesterifikasi dan pembuangan kolesterol dari foam cells pada daerah subintimal pembuluh darah. 3
Obesitas, salah satu faktor yang juga sering berkaitan dengan obesitas, memiliki keterkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Peningkatan berat badan dan adiposit dapat berkembang menjadi hipertensi bahkan pada usia awal sekalipun. Obesitas sentral atau android lebih berkaitan dengan resistensi insulin dan DM tipe-2, hipertensi, dan dislipidemia daripada obesitas perifer atau ginekoid.
Peningkatan Kontraktilitas Otot Polos Vaskular
Peningkatan resistensi vaskular perifer dan kontraktilitas otot polos vascular berespon terhadap agonist seperti norepinefrin dan angiotensin II menjadi dasar terjadinya hipertensi pada kedua tipe diabetes. Pada tikus yang mengalami resistensi insulin memberikan respon yang berlebihan terhadap agonis-agonis tersebut. Namun, alasan secara detail mengapa terjadi respon berlebih tersebut masih belum jelas. Kemungkinan mekanisme adalah kalsium bebas sitoplasma pada otot polos vaskular, yang merupakan salah satu penentu kontraktilitas otot polos, mengalami peningkatan.
Insulin memiliki peranan dalam regulasi pompa Ca2+-ATPase dan Na+, K+-ATPase. Defisiensi insulin atau resistensi dapat mengganggu pompa tersebut. Akibatnya terjadi peningkatan Ca2+. Pompa pertukaran Na+-H+ yang distimulasi oleh kadar fisiologis insulin juga terpengaruh. Pada kasus resistensi, pompa tersebut mengalami peningkatan. Antiporter Na+-H+ merupakan sistem transport yang berkaitan dengan regulasi pH intraseluler, volume sel, dan pertumbuhan sel serta pertukaran Ca2+. Peningkatan aktivitas antiport tersebut berkaitan dengan peningkatan Ca2+ sel.
Hiperglikemia
Pada hiperglikemia kronis, dapat terjadi peningkatan rigiditas vaskular dengan mempromosikan perubahan struktural vaskular. Pada konsentrasi yang tinggi, glukosa memberikan efek toksik pada sel endotelial sehingga terjadi penurunan relaksasi endothelial-mediated vascular, yang akan meningkatkan konstriksi dan hiperplasia sel otot polos vaskular serta remodeling vaskular.
Kadar glukosa yang tinggi dapat menginduksi overekspresi fibronektin dan kolagen IV pada sel endotel vaskular manusia yang dikultur. Peningkatan tersebut berpengaruh pada disfungsi endotel. Juga, fibronektin merupakan glikoprotein yang jika terjadi overekspresi dapat berdampak pada penebalan membran basal glomerulus dan mesangium.
Selain itu, terdapat bukti bahwa hiperglikemi dapat mempercepat pembentukan produk glikosilasi nonenzimatik yang berkumpul pada protein dinding pembuluh. Glikosilasi merupakan ikatan kovalen antara glukosa darah dengan sel darah merah, khususnya hemoglobin (HA1c). Normalnya, hanya ada sekitar 4,5%-6% glukosa yang terikat.4 Pengikatan protein yang mengandung hasil akhir glikosilasi kepada makrofag menginduksi sintesis dan sekresi tumor necrosis factors dan IL-1. Sitokin tersebut, akan menstimulasi sel lain untuk meningkatkan sintesis protein dan berproliferasi. 3
sumber: medicinesia.com
Sianosis adalah suatu keadaan di mana kulit dan membran mukosa
berwarna kebiruan akibat penumpukan deoksihemoglobin pada pembuluh
darah kecil pada area tersebut. Sianosis biasanya paling terlihat pada
bibir, kuku, dan telinga. Derajat sianosis ditentukan dari warna dan
ketebalan kulit yang terlibat. Sebenarnya, penilaian akurat dari
derajat sianosis ini sulit ditentukan, karena tingkat penurunan
saturasi oksigen yang dapat berakibat sianosis berbeda pada tiap ras.
Selain itu, pemeriksaan sianosis pada membran mukosa, seperti mulut dan
konjungtiva, lebih bermakna daripada pemeriksaan pada kulit.
Beberapa kelainan jantung kongenital yang dapat menyebabkan sianosis yaitu:
Sianosis sentral dapat terjadi pada individu yang memiliki kadar hemoglobin normal tetapi memiliki saturasi oksigen yang tinggi. Misalnya, pasien yang memiliki kadar hemoglobin 15 g/dL dapat dikatakan sianosis sentral jika saturasi oksigennya menurun hingga 80%. Sedangkan, pasien yang kadar hemoglobinnya 9 g/dL dapat mengalami sianosis sentral jika saturasi oksigen menurun hingga 63%.
Ambang batas sianosis sentral yaitu kadar hemoglobin tereduksi kapiler sebesar 5 g/dL. Grafik ini menggambarkan mengenai hubungan antara saturasi oksigen dan kadar hemoglobin yang dapat menimbulkan sianosis sentral.3
Sianosis perifer dapat tidak melibatkan membran mukosa pada mulut atau di bawah lidah.1Biasanya, sianosis perifer terlihat pada bagian tubuh yang terkespos, seperti tangan, telinga, hidung, pipi, dan kaki.
Tanda dan gejala dari sianosis perifer yaitu:2
Pseudosianosis merupakan keadaan kulit atau membran mukosa yang berwarna kebiruan, dan tidak berhubungan dengan hipoksemia atau vasokonstriksi perifer. Penyebab pseudosianosis ini berhubungan dengan bahan metal, seperti perak nitrat, perak iodida, atau obat-obatan, seperti fenotiazin, amiodaron, dan klorokuin hidroklorida.
Kadar oksigen pada pasien dengan pseudosianosis ini normal, karena itu untuk menegakkan diagnosis kelainan ini, dapat dilakukan pengukuran gas darah pada arteri atau oksimetri pulsasi.
Pada pasien dengan sianosis, penting untuk menggali informasi mengenai:1
- Foto polos
- Monitor oksigen transkutaneus (oksimeter pulsasi)
- Pemeriksaan gas darah arteri
- Ekokardiogram
sumber: medicinesia.com
Etiologi
Penyebab dari penumpukan hemoglobin tereduksi bisa karena peningkatan darah vena akibat dilatasi venula atau penurunan saturasi oksigen di dalam darah.1 Sianosis biasanya muncul ketika kadar hemoglobin tereduksi minimal 5 g/dL pada darah arteri. Namun, tidak semua sianosis berhubungan dengan peningkatan kadar hemoglobin tereduksi. Penyebab lain yang mungkin yaitu adanya pigmen abnormal, seperti methemoglobin atau sulfhemoglobin, pada eritrosit.2Beberapa kelainan jantung kongenital yang dapat menyebabkan sianosis yaitu:
- Koartasio aorta
- Stenosis katup pulmonal
- Anomali Ebstein
- Sindrim jantung kiri hipoplastik
- Kelainan pada lengkung aorta
- Atresia pulmonal
- Stenosis pulmonal dengan ASD/VSD
- Tetralogi Fallot
- TGA (transposition of the great vessels)
- Atresia katup trikuspid
- Trunkus arteriosus
- Pajanan terhadap bahan kimia
- Penyakit genetik, seperti sindrom Down, trisomi 13, sindrom Turner, sindrom Marfan, sindrom Noonan, dan sindrom Ellis-van Creveld
- Infeksi selama masa kehamilan
- Penyakit diabetes tidak terkontrol selama masa kehamilan
- Penggunaan obat-obatan selama masa kehamilan
- Penyakit paru
- Abnormalitas hemoglobin
- Dehidrasi
- Hipoglisemi
Tanda dan Gejala
Gejala utama dari sianosis adalah warna kebiruan yang dapat terlihat pada kulit atau kelenjar mukosa. Bagian tubuh yang paling sering terlihat berwarna kebiruan adalah bibir, ujung jari, dan kuku. Beberapa pasien anak-anak memiliki gejala dispnea, kebingungan, dan hiperventilasi akibat kekurangan oksigen. Akibat dispnea ini, seringkali anak-anak berjongkok untuk mengurangi kebutuhan oksigen. Pada pasien bayi, biasanya gejala berupa kelelahan saat menyusui dan berat badan sulit naik. Selain itu, sinkop dan nyeri dada juga dapat terjadi.3Tipe sianosis
Terdapat dua tipe sianosis, yaitu sianosis sentral dan sianosis perifer.Sianosis sentral
Pada sianosis jenis ini, terdapat penurunan jumlah saturasi oksigen atau derivat hemoglobin yang abnormal. Biasanya sianosis sentral terdapat pada membran mukosa dan kulit.Adanya penurunan saturasi oksigen merupakan tanda dari penurunan tekanan oksigen dalam darah. Penurunan tersebut dapat diakibatkan oleh penurunan laju oksigen tanpa adanya kompensasi yang cukup dari paru-paru untuk menambah jumlah oksigen tersebut. Beberapa penyebab dari sianosis sentral ini yaitu:1- Penurunan saturasi oksigen arteri
- Penurunan tekanan atmosfer, biasanya pada ketinggian 4000 m
- Penyakit jantung kongenital, seperti TGA dan Tetralogi Fallot. Penyakit kongenital ini biasanya berhubungan dengan kebocoran jantung dan menyebabkan darah vena masuk ke sirkulasi arteri. Pada pasien dengan kebocoran jantung kanan ke kiri, derajat sianosis bergantung pada ukuran kebocoran tersebut. Olahraga dapat meningkatkan derajat sianosis karena peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringan dan penurunan saturasi oksigen pada pembuluh darah.
- Fistula arteriovenosus pulmonal yang bersifat kongenital atau didapat, soliter atau multipel. Beratnya sianosis akibat fistula ini bergantung pada ukuran dan jumlahnya. Pasien sirosis dapat menunjukkan tanda sianosis akibat dari fistula ini atau anastomosis vena pulmonal dan vena porta.
- Polisitemia akibat tingginya kadar hemoglobin tereduksi.2
Sianosis sentral dapat terjadi pada individu yang memiliki kadar hemoglobin normal tetapi memiliki saturasi oksigen yang tinggi. Misalnya, pasien yang memiliki kadar hemoglobin 15 g/dL dapat dikatakan sianosis sentral jika saturasi oksigennya menurun hingga 80%. Sedangkan, pasien yang kadar hemoglobinnya 9 g/dL dapat mengalami sianosis sentral jika saturasi oksigen menurun hingga 63%.
Ambang batas sianosis sentral yaitu kadar hemoglobin tereduksi kapiler sebesar 5 g/dL. Grafik ini menggambarkan mengenai hubungan antara saturasi oksigen dan kadar hemoglobin yang dapat menimbulkan sianosis sentral.3
Sianosis perifer
Sianosis ini disebabkan oleh menurunnya kecepatan aliran darah dan ekstrasi oksigen yang berlebih dari darah arteri. Hal tersebut diakibatkan oleh vasokonstriksi kapiler, yang dapat diakibatkan oleh:- Penurunan curah jantung. Penurunan curah jantung yang menyebabkan sianosis perifer ini biasanya memiliki riwayat adanya emboli pulmonal, stenosis mitral, infark myokard, atau penyakit jantung lainnya.2
- keadaan dingin
- shok
- gagal jantung kongestif
- penyakit vaskular perifer
- obstruksi arteri atau vena. Adanya obstruksi atau konstriksi arteri pada ekstremitas, seperti yang terdapat pada fenomena Raynaud, menyebabkan kulit pucat, dingin, dan sianosis.1Obstruksi arteri biasanya dikeluhkan pasien sebagai kesemutan, yang biasanya dialami oleh penderita diabetes mellitus. Penyebab lain dari obstruksi arteri yaitu emboli, yang biasanya merupakan akibat dari trombus mural pada stenosis mitral, infark myokard, atau endokarditis infektif.2 Selain itu, obstruksi vena, seperti pada trombophlebitis, menyebabkan dilatasi dari pleksus vena subkapiler dan menyebabkan sianosis.1Obstruksi vena bisa disebabkan oleh varises, trombophlebitis, edema, trauma kaki, atau imobilisasi.2
Sianosis perifer dapat tidak melibatkan membran mukosa pada mulut atau di bawah lidah.1Biasanya, sianosis perifer terlihat pada bagian tubuh yang terkespos, seperti tangan, telinga, hidung, pipi, dan kaki.
Tanda dan gejala dari sianosis perifer yaitu:2
- Hipotensi, takikardi, ekstremitas dingin, penurunan output urin, kebingungan, tanda-tanda shok, merupakan tanda dari penurunan curah jantung
- Fenomena Raynaud, yang merupakan tanda dari beberapa penyakit, seperti skleroderma, SLE, dan krioglobulinemia
Pseudosianosis merupakan keadaan kulit atau membran mukosa yang berwarna kebiruan, dan tidak berhubungan dengan hipoksemia atau vasokonstriksi perifer. Penyebab pseudosianosis ini berhubungan dengan bahan metal, seperti perak nitrat, perak iodida, atau obat-obatan, seperti fenotiazin, amiodaron, dan klorokuin hidroklorida.
Kadar oksigen pada pasien dengan pseudosianosis ini normal, karena itu untuk menegakkan diagnosis kelainan ini, dapat dilakukan pengukuran gas darah pada arteri atau oksimetri pulsasi.
Pada pasien dengan sianosis, penting untuk menggali informasi mengenai:1
- Onset terjadinya sianosis
- Jenis sianosis, sentral atau perifer
- Ada atau tidaknya jari clubbing, karena pasien dengan sianosis dan jari clubbing biasanya memiliki penyakit jantung kongenital dengan kebocoran kanan ke kiri dan penyakit paru, seperti abses paru atau fistula arteriovenosus pulmonal
- Besar tekanan oksigen dan saturasi oksigen dalam darah
- Foto polos
- Monitor oksigen transkutaneus (oksimeter pulsasi)
- Pemeriksaan gas darah arteri
- Ekokardiogram
sumber: medicinesia.com
Susunan kromosom kelamin pada pria adalah X dan Y sedangkan pada wanita adalah X dan X
Isilah tabel di bawah ini
Fungsi pada:
|
FSH
|
LH
|
Pria
|
Diperlukan dalam proses spermatogenesis
|
Untuk menstimulasi produksi hormone steroid
testosteron
|
Wanita
|
Merangsang ovarium untuk menghasilkan volikel
(folikulogenesis)
|
Memecahkan sel telur yang matang dan membentuk
corpus luteum, merangsang terjadinya luteinisasi untuk menghasilkan
progesterone.
|
Sperma dihasilkan
di tubulus seminiferus dan testosteron dihasilkan
di sel-sel interstisial leydig , yang berada di
dalam organ yang disebut Testis. Selain itu, testosteron dapat pula dihasilkan di sel-sel lemak
. Mekanisme kerja testosteron dalam mengatur sifat kelamin primer
adalah Menyebabkan ukuran penis,scrotum,dan testis membesar kira-kira delapan
kali lipat sebelum mencapai usia 20 tahun. sedangkan
mekanismenya dalam mengatur sifat kelamin sekunder adalah Pada perkembangan pria yang dimulai
saat pubertas dan berakhir pada maturasi. Mekanisme
terjadinya ereksi adalah Pelebaran sinusoid-sinusoid kavernosa pada jaringan erektil, yang
normalnya tidak terisi penuh dengan darah namun menjadi sangat berdilatasi saat
darah arteri mengalir dengan cepat kedalamamnya, sementara sebagian aliran vena
dibendung. Oleh karena itu tekanan yang tinggi dalam sinusoid menyebabkan
penggembungan jaringan erektil sehingga penis menjadi keras dan memanjang. yang diperantarai oleh sistem saraf Parasimpatis.
Sedangkan mekanisme terjadinya ejakulasi adalah pengisian uretra interna
dengan semen mengeluarkan sinyal sensoris yang dihantarkan melalui nervus
pudendus ke region sacral medulla spinalis, yang menimbulkan rasa penuh yang
mendadak di organ genitalia interna. Selain itu, sinyal sensoris ini lebih jauh
lagi membangkitkan kontraksi ritmis dari oragan genitalia interna dan
menyebabkan kontraksi otot-otot iskhiokapernosus dan bulbokapernosus yang
menekan dasar jaringan erektil penis. Kedua pengaruh ini menyebabkan
peningkatan tekanan ritmis seperti gelombang dikedua jarimgan erektil panis dan
di duktus genital serta uretra yang mengejakulasikan semen dari uertra keluar. yang diperantarai oleh sistem saraf Simpatis.
Ovum dihasilkan di ovarium sedangkan hormon estrogen di ovarium dan progesteron di ovarium .
Di samping itu estrogen dapat pula
dihasilkan di folikel, plasenta, dan corpus luteum . Lapisan
di uterus yang meluruh pada tiap periode reproduksi seorang wanita adalah endometrium
Isilah tabel di bawah ini
Siklus ovarium
|
Lamanya
|
Hormon-hormon yang terlibat (menurun/meningkat)
|
Mekanisme yang terjadi
|
Fase follikularis
|
10-14 hari
|
Estrogen meningkat, dan mencapai puncaknya 24-36
hari sebelum ovulasi
|
Perubahan folikel primer menjadi matang dan siap
untuk ovulasi
|
Fase ovulasi
|
10-12 jam sesudah lonjakan LH
|
LH, PROGESTERON
|
Peristiwa saat pecahnya folikel yang disertai
keluarnya cairan dari folikel bersama-sama dengan ovum yang dikelilingi
sel-sel cumulus ooforus
|
Fase luteal
|
-Korpus luteum mengalami kemunduran pada hari 9-11
setelah ovulasi(bila tidak terjadi kehamilan)
-bila terjadi kehamilan korpus luteum dipertahankan
oleh HCG (timbul pada hari 9-13 setelah ovulasi)
|
HCG
|
-Sel granulosa membesar mengalami luteinisasi dan
terbentuk korpus luteum.
-sel teka juga ikut membentuk korpus luteum
|
Isilah tabel di bawah ini
Siklus endometrium
|
Lamanya
|
Hormon-hormon yang terlibat (menurun/meningkat)
|
Mekanisme yang terjadi
|
Fase proliferasi
|
5-14 hari
|
Estrogen
|
Proliferasi sel epitel dan stroma endometrium..
endometrium tumbuh menjadi tebal
|
Fase sekresi
|
Terjadi sekitar hari 14-28
|
Progesterone
|
Mempertahankan dinding endometrium, kelenjar Nampak
berkelok-kelok, pembuluh darah bertambah banyak dan di persiapkan untuk
menerima hasil fertilisasi
|
Fase menstruasi
|
Hari ke 28-35 hari / 5 hari
|
Progesterone menurun dan estrogen meningkat
|
Diawali degenerasi corpus luteum yang mengakibatkan
kadar progesteron darah menurun dan terjadi perubahan – perubahan didlm
ovarium dan uterus. Selama lima hari, selama masa ini epithelium permukaan
lepas dari dinding uterus dan perdarahan pun terjadi
|
Fertilisasi terjadi di oviduk.
Zigot mengeluarkan hCG yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan corpus luteum dan sekresi
esterogen dan progesterone oleh corpus luteum. Kadar hCG ini akan menurun setelah melewati bulan
keempat kehamilan karena adanya plasenta . Fungsi estrogen selama kehamilan adalah adalah jumlahnya sangat berlebihan akan menyebakan
pembesaran uterus, pembesaran payudara dan pertumbuhan
struktur duktus payudara ibu dan pembesaran genital ekterna wanita. sedangkan fungsi progesteron dalam kehamilan adalah:
1. sel-sel desidua tumbuh di
endometrium uterus dan sel-sel ini berfungsi dalam nutrisi embrio awal
2. menurunkan kontraktilitas uterus
gravid jadi mencegah kontraksi uterus yg menyebabkan abortus spontan
3. Membantu perkembangan hasil
konsepsi bahkan sebelum implantasi, karena progesterone secara khusus
meningkatkan sekresi tuba falopi dan uterus ibu untuk menyediakan bahan nutrisi
yang sesuai untuk perkembangan morula dan blastokista.
4. membantu esterogen mempersiapkan
payudara ibu untuk laktasi.
Jelaskan bagaimana interaksi antara regangan
serviks dan sekresi hormon oksitosin selama persalinan?
Regangan serviks menyebabkan seluruh
korpus uteri berkontraksi dan kontraksi ini lebih meregangkan serviks karena
dorongan kepala bayi kearah bawah. Regangan service juga menyebabkan kelenjar
hipofisis menyekresikan oksitosin yg merupakan cara lain untuk meningkatkan
kontraktilitas uterus. Ada beberapa
alasan untuk mempercayai bahwa oksitosin mungkin diperlukan saat kontraktilitas
uterus menjelang persalilan yaitu:
1. otot uterus meningkatkan jumlah
reseptor-reseptor oksitosin dan oleh karena itu meningkatkan responnya terhadap
dosis oksitosin yang diberikan selama beberapa bulan terakhir kehamilan
2. kecepatan sekresi oksitosin oleh
neurohipofisis sangat meningkat pada saat persalinan.
NAMA-NAMA KELOMPOK 1:
1.
ERVHIN
RIYADHI : F1E110041
2.
NUR
SULVIYANA : F1E110047
3.
LUCKY NUR
FITRIYAH : F1E110050
4.
SRI
WUNASARI NASIR : F1E110051
5.
UMI
MUCHTIAAH UDHE : F1E110054
6.
RIRIT
YULIARTI TAHA : F1E110058
7.
ANDI MEY
PRATIWI : F1E110066
8.
RAKHNIATI : F1E110070
Jantung terdiri dari empat ruang,
dua ruang berdinding tipis disebut atrium dan dua ruang berdinding tebal
disebut ventrikel.
1. Atrium
- Atrium kanan. Berfungsi
menampung darah yang rendah oksigen dari seluruh tubuh yang mengalir dari
vena kava superior dan inferior serta sinus koronarius yang berasal dari
jantung sendiri. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel kanan dan
selanjutnya ke paru-paru.
- Atrium kiri. Berfungsi menerima
darah yang kaya oksigen dari paru-paru melalui empat buah vena pulmonalis.
Kemudian darah mengalir ke ventrikel kiri dan dipompakan ke seluruh tubuh
melalui aorta.
2. Ventrikel
- Ventrikel kanan. Berfungsi
memompakan darah dari atrium kanan ke paru-paru melalui vena pulmonalis.
- Ventrikel kiri. Berfungsi
memompakan darah yang kaya oksigen dari atrium kiri ke seluruh tubuh
melalui aorta.
Katup-Katup Jantung
1. Katup atrioventrikuler
Terletak antara atrium dan
ventrikel. Katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan disebut
katup trikuspidalis. Katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri
disebut katup bikuspidalis atau katup mitral. Katup atrioventrikuler
memungkinkan darah mengalir dari masing-masing atrium ke ventrikel pada saat
diastolik dan mencegah aliran balik pada saat ventrikel berkontraksi memompa darah
keluar jantung yaitu pada saat sistolik.
2. Katup semilunaris
Katup pulmonalis terletak pada
arteri pulmonalis, memisahkan pembuluh darah ini dengan ventrikel kanan dan
katup aortik terletak antara ventrikel kiri dan pembuluh darah aorta. Kedua
katup tersebut berfungsi mengalirkan darah dari ventrikel ke
masing-masing arteri pada saat sistolik dan mencegah aliran balik saat
diastolik.
Persyarafan Jantung
Jantung dipersyarafi oleh nervus
simpatikus/ akselerantis untuk menggiatkan kerja jantung dan nervus
parasimpatikus khususnya cabang dari nervus vagus yang berfungsi sebagai
pemerlambat jantung.
Sistem Konduksi Jantung
Didalam otot jantung terdapat
jaringan khusus yang menghantarkan aliran listrik. Jaringan tersebut mempunyai
sifat-sifat :
1. Otomatisasi. Kemampuan untuk
menimbulkan impuls secara spontan.
2. Irama. Membentuk impuls yang
teratur.
3. Daya konduksi. Mampu untuk
menyalurkan impuls.
4. Daya rangsang. Kemampuan untuk
bereaksi terhadap rangsangan.
Berdasarkan sifat diatas, secara
spontan dan teratur jantung akan menghasilkan impuls yang akan disalurkan
melalui sistem hantar untuk merangsang otot jantung dan menimbulkan kontraksi
otot. Perjalanan impuls jantung dimulai dari SA nodus sampai dengan serabut
purkinye.
1.
SA nodus
Disebut pemacu alami karena secara
otomatis mengeluarkan aliran listrik yang kemudian menggerakkan otot jantung
secara otomatis. Impuls yang dikeluarkan oleh SA nodus antara 60-100 kali per
menit. SA nodus dapat menghasilkan impuls karena adanya sel-sel pacemaker yang
dipengaruhi syaraf simpatis dan parasimpatis. SA nodus terletak didekat muara
vena kava superior.
2. Traktus internodal
Berfungsi menghantarkan Impuls dari
SA nodus ke AV nodus.
3. AV Nodus
Terletak didalam dinding septum
atrium sebelah kanan, tepat diatas katup trikuspidalis dekat muara sinus
koronarius. Berfungsi menahan impuls jantung selama 0,08-0,12 detik untuk
memungkinkan pengisian ventrikel selama atrium berkontraksi dan mengatur jumlah
impuls atrium yang mencapai atrium. SA nodus dapat menghasilkan impuls dengan
frekuensi 40-60 kali per menit.
4. Bundle of his
Berfungsi sebagai penghantar impuls
syaraf dari AV nodus ke sistem bundle branch.
5. Sistem bundle branch
Merupakan lanjutan dari bundle of
his yang bercabang menjadi dua yaitu :
Right bundle branch mengirim impuls
ke otot jantung ventrikel kanan.
Left bundle branch mengirim impuls
ke otot jantung ventrikel kiri.
6. Serabut purkinye
Merupakan bagian ujung dari bundle
branch, menghantarkan impuls syaraf menuju lapisan sub endokard pada kedua
ventrikel sehingga terjadi depolarisasi yang di ikuti oleh kontraksi ventrikel.
Impuls yang dihasilkan antara 20-40 kali per menit.
Siklus Jantung
Di mana jantung yang berfungsi memompakan darah ke seluruh tubuh
melalui cabang-cabangnya untuk keperluan metabolisme demi kelangsungan hidup.
Karena jantung merupakan suatu bejana berhubungan, anda boleh memulai sirkulasi jantung dari mana saja. Saya akan mulai dari atrium/serambi kanan.
Atrium kanan menerima kotor atau vena atau darah yang miskin oksigen dari:
- Superior Vena Kava
- Inferior Vena Kava
- Sinus Coronarius
Dari atrium kanan, darah akan dipompakan ke ventrikel kanan melewati katup trikuspid.
Dari ventrikel kanan, darah dipompakan ke paru-paru untuk mendapatkan oksigen melewati:
- Katup pulmonal
- Pulmonal Trunk
- Empat (4) arteri pulmonalis, 2 ke paru-paru kanan dan 2 ke kembali paru-paru kiri
Darah yang kaya akan oksigen dari paru-paru akan di alirkan ke jantung melalui 4 vena pulmonalis (2 dari paru-paru kanan dan 2 dari paru-paru kiri)menuju atrium kiri.
Dari atrium kiri darah akan dipompakan ke ventrikel kiri melewati katup biskupid atau katup mitral.
Dari ventrikel kiri darah akan di pompakan ke seluruh tubuh termasuk jantung (melalui sinus valsava) sendiri melewati katup aorta. Dari seluruh tubuh,darah balik lagi ke jantung melewati vena kava superior,vena kava inferior dan sinus koronarius menuju atrium kanan.
Secara umum, siklus jantung dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
• Sistole atau kontraksi jantung
• Diastole atau relaksasi atau ekspansi jantung
Secara spesific, siklus jantung dibagi menjadi 5 fase yaitu :
1. Fase Ventrikel Filling
2. Fase Atrial Contraction
3. Fase Isovolumetric Contraction
4. Fase Ejection
5. Fase Isovolumetric Relaxation
Perlu anda ingat bahwa siklus jantung berjalan secara bersamaan antara jantung kanan dan jantung kiri, dimana satu siklus jantung = 1 denyut jantung = 1 beat EKG (P,q,R,s,T) hanya membutuhkan waktu kurang dari 0.5 detik.
A. Fase Ventrikel Filling
Sesaat setelah kedua atrium menerima darah dari masing-masing cabangnya, dengan demikian akan menyebabkan tekanan di kedua atrium naik melebihi tekanan di kedua ventrikel. Keadaan ini akan menyebabkan terbukanya katup atrioventrikular, sehingga darah secara pasif mengalir ke kedua ventrikel secara cepat karena pada saat ini kedua ventrikel dalam keadaan relaksasi/diastolic sampai dengan aliran darah pelan seiring dengan bertambahnya tekanan di kedua ventrikel. Proses ini dinamakan dengan pengisian ventrikel atau ventrikel filling. Perlu anda ketahui bahwa 60% sampai 90 % total volume darah di kedua ventrikel berasal dari pengisian ventrikel secara pasif. Dan 10% sampai 40% berasal dari kontraksi kedua atrium.
B. Fase Atrial Contraction
Seiring dengan aktifitas listrik jantung yang menyebabkan kontraksi kedua atrium, dimana setelah terjadi pengisian ventrikel secara pasif, disusul pengisian ventrikel secara aktif yaitu dengan adanya kontraksi atrium yang memompakan darah ke ventrikel atau yang kita kenal dengan "atrial kick". Dalam grafik EKG akan terekam gelombang P. Proses pengisian ventrikel secara keseluruhan tidak mengeluarkan suara, kecuali terjadi patologi pada jantung yaitu bunyi jantung 3 atau cardiac murmur.
C. Fase Isovolumetric Contraction
Pada fase ini, tekanan di kedua ventrikel berada pada puncak tertinggi tekanan yang melebihi tekanan di kedua atrium dan sirkulasi sistemik maupun sirkulasi pulmonal. Bersamaan dengan kejadian ini, terjadi aktivitas listrik jantung di ventrikel yang terekam pada EKG yaitu komplek QRS atau depolarisasi ventrikel.
Keadaan kedua ventrikel ini akan menyebabkan darah mengalir balik ke atrium yang menyebabkan penutupan katup atrioventrikuler untuk mencegah aliran balik darah tersebut. Penutupan katup atrioventrikuler akan mengeluarkan bunyi jantung satu (S1) atau sistolic. Periode waktu antara penutupan katup AV sampai sebelum pembukaan katup semilunar dimana volume darah di kedua ventrikel tidak berubah dan semua katup dalam keadaan tertutup, proses ini dinamakan dengan fase isovolumetrik contraction.
D. Fase Ejection
Seiring dengan besarnya tekanan di ventrikel dan proses depolarisasi ventrikel akan menyebabkan kontraksi kedua ventrikel membuka katup semilunar dan memompa darah dengan cepat melalui cabangnya masing-masing. Pembukaan katup semilunar tidak mengeluarkan bunyi. Bersamaan dengan kontraksi ventrikel, kedua atrium akan di isi oleh masing-masing cabangnya.
E.Fase Isovolumetric Relaxation
Setelah kedua ventrikel memompakan darah, maka tekanan di kedua ventrikel menurun atau relaksasi sementara tekanan di sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan aliran darah balik ke kedua ventrikel, untuk itu katup semilunar akan menutup untuk mencegah aliran darah balik ke ventrikel. Penutupan katup semilunar akan mengeluarkan bunyi jantung dua (S2)atau diastolic. Proses relaksasi ventrikel akan terekam dalam EKG dengan gelombang T, pada saat ini juga aliran darah ke arteri koroner terjadi. Aliran balik dari sirkulasi sistemik dan pulmonal ke ventrikel juga di tandai dengan adanya "dicrotic notch".
• 1. Total volume darah yang terisi setelah fase pengisian ventrikel secara pasip maupun aktif ( fase ventrikel filling dan fase atrial contraction) disebut dengan End Diastolic Volume (EDV)
• 2. Total EDV di ventrikel kiri (LVEDV) sekitar 120ml.
• 3. Total sisa volume darah di ventrikel kiri setelah kontraksi/sistolic disebut End SystolicVolume (ESV) sekitar 50 ml.
• 4. Perbedaan volume darah di ventrikel kiri antara EDV dengan ESV adalah 70 ml atau yang dikenal dengan stroke volume. (EDV-ESV= Stroke volume) (120-50= 70)
Karena jantung merupakan suatu bejana berhubungan, anda boleh memulai sirkulasi jantung dari mana saja. Saya akan mulai dari atrium/serambi kanan.
Atrium kanan menerima kotor atau vena atau darah yang miskin oksigen dari:
- Superior Vena Kava
- Inferior Vena Kava
- Sinus Coronarius
Dari atrium kanan, darah akan dipompakan ke ventrikel kanan melewati katup trikuspid.
Dari ventrikel kanan, darah dipompakan ke paru-paru untuk mendapatkan oksigen melewati:
- Katup pulmonal
- Pulmonal Trunk
- Empat (4) arteri pulmonalis, 2 ke paru-paru kanan dan 2 ke kembali paru-paru kiri
Darah yang kaya akan oksigen dari paru-paru akan di alirkan ke jantung melalui 4 vena pulmonalis (2 dari paru-paru kanan dan 2 dari paru-paru kiri)menuju atrium kiri.
Dari atrium kiri darah akan dipompakan ke ventrikel kiri melewati katup biskupid atau katup mitral.
Dari ventrikel kiri darah akan di pompakan ke seluruh tubuh termasuk jantung (melalui sinus valsava) sendiri melewati katup aorta. Dari seluruh tubuh,darah balik lagi ke jantung melewati vena kava superior,vena kava inferior dan sinus koronarius menuju atrium kanan.
Secara umum, siklus jantung dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
• Sistole atau kontraksi jantung
• Diastole atau relaksasi atau ekspansi jantung
Secara spesific, siklus jantung dibagi menjadi 5 fase yaitu :
1. Fase Ventrikel Filling
2. Fase Atrial Contraction
3. Fase Isovolumetric Contraction
4. Fase Ejection
5. Fase Isovolumetric Relaxation
Perlu anda ingat bahwa siklus jantung berjalan secara bersamaan antara jantung kanan dan jantung kiri, dimana satu siklus jantung = 1 denyut jantung = 1 beat EKG (P,q,R,s,T) hanya membutuhkan waktu kurang dari 0.5 detik.
A. Fase Ventrikel Filling
Sesaat setelah kedua atrium menerima darah dari masing-masing cabangnya, dengan demikian akan menyebabkan tekanan di kedua atrium naik melebihi tekanan di kedua ventrikel. Keadaan ini akan menyebabkan terbukanya katup atrioventrikular, sehingga darah secara pasif mengalir ke kedua ventrikel secara cepat karena pada saat ini kedua ventrikel dalam keadaan relaksasi/diastolic sampai dengan aliran darah pelan seiring dengan bertambahnya tekanan di kedua ventrikel. Proses ini dinamakan dengan pengisian ventrikel atau ventrikel filling. Perlu anda ketahui bahwa 60% sampai 90 % total volume darah di kedua ventrikel berasal dari pengisian ventrikel secara pasif. Dan 10% sampai 40% berasal dari kontraksi kedua atrium.
B. Fase Atrial Contraction
Seiring dengan aktifitas listrik jantung yang menyebabkan kontraksi kedua atrium, dimana setelah terjadi pengisian ventrikel secara pasif, disusul pengisian ventrikel secara aktif yaitu dengan adanya kontraksi atrium yang memompakan darah ke ventrikel atau yang kita kenal dengan "atrial kick". Dalam grafik EKG akan terekam gelombang P. Proses pengisian ventrikel secara keseluruhan tidak mengeluarkan suara, kecuali terjadi patologi pada jantung yaitu bunyi jantung 3 atau cardiac murmur.
C. Fase Isovolumetric Contraction
Pada fase ini, tekanan di kedua ventrikel berada pada puncak tertinggi tekanan yang melebihi tekanan di kedua atrium dan sirkulasi sistemik maupun sirkulasi pulmonal. Bersamaan dengan kejadian ini, terjadi aktivitas listrik jantung di ventrikel yang terekam pada EKG yaitu komplek QRS atau depolarisasi ventrikel.
Keadaan kedua ventrikel ini akan menyebabkan darah mengalir balik ke atrium yang menyebabkan penutupan katup atrioventrikuler untuk mencegah aliran balik darah tersebut. Penutupan katup atrioventrikuler akan mengeluarkan bunyi jantung satu (S1) atau sistolic. Periode waktu antara penutupan katup AV sampai sebelum pembukaan katup semilunar dimana volume darah di kedua ventrikel tidak berubah dan semua katup dalam keadaan tertutup, proses ini dinamakan dengan fase isovolumetrik contraction.
D. Fase Ejection
Seiring dengan besarnya tekanan di ventrikel dan proses depolarisasi ventrikel akan menyebabkan kontraksi kedua ventrikel membuka katup semilunar dan memompa darah dengan cepat melalui cabangnya masing-masing. Pembukaan katup semilunar tidak mengeluarkan bunyi. Bersamaan dengan kontraksi ventrikel, kedua atrium akan di isi oleh masing-masing cabangnya.
E.Fase Isovolumetric Relaxation
Setelah kedua ventrikel memompakan darah, maka tekanan di kedua ventrikel menurun atau relaksasi sementara tekanan di sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan aliran darah balik ke kedua ventrikel, untuk itu katup semilunar akan menutup untuk mencegah aliran darah balik ke ventrikel. Penutupan katup semilunar akan mengeluarkan bunyi jantung dua (S2)atau diastolic. Proses relaksasi ventrikel akan terekam dalam EKG dengan gelombang T, pada saat ini juga aliran darah ke arteri koroner terjadi. Aliran balik dari sirkulasi sistemik dan pulmonal ke ventrikel juga di tandai dengan adanya "dicrotic notch".
• 1. Total volume darah yang terisi setelah fase pengisian ventrikel secara pasip maupun aktif ( fase ventrikel filling dan fase atrial contraction) disebut dengan End Diastolic Volume (EDV)
• 2. Total EDV di ventrikel kiri (LVEDV) sekitar 120ml.
• 3. Total sisa volume darah di ventrikel kiri setelah kontraksi/sistolic disebut End SystolicVolume (ESV) sekitar 50 ml.
• 4. Perbedaan volume darah di ventrikel kiri antara EDV dengan ESV adalah 70 ml atau yang dikenal dengan stroke volume. (EDV-ESV= Stroke volume) (120-50= 70)