Ranah budaya (cultural domain) adalah istilah yang sering digunakan oleh para antropolog untuk menggambarkan sebuah wilayah yang menjadi basis historio-cultural kelompok etnik tertentu. Dengan kata lain, seperti kata Sairin, ranah budaya adalah wilayah yang secara cultural dipandang sebagai milik dari masyarakat pendukung kebudayaan itu. Istilah ini banyak dipakai dalam pembicaraan-pembicaraan diseputar prilaku dan persepsi penduduk asli dan penduduk migran terhadap wilayah tertentu.
Dalam kaitan pengertian itu, dan terlepas dari perdebatan-perdebatan para ahli di seputar batas-batas wilayah kekuasaan formal orang Tolaki di masa lalu, dalam perspektif kontemporer orang Tolaki sendiri, wilayah yang diklaim sebagai ranah budaya Tolaki pada prinsipnya mencakup bekas wilayah kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga, dengan batas-batas wilayah : sebelah utara berbatasan dengan wilayah Bungku Selatan pada kampung-kampung Molore, Lambatu dan Lampesua hingga danau Matana, sebelah timur berbatasan dengan laut Banda dan selat Tiworo, sebelah Selatan berbatasan dengan gunung Rompu-Rompu, Toari dan Teluk Bone, dan sebelah Barat berbatasan dengan wilayah kerajaan Luwu pada kampung-kampung Patikala, Boebunta dan Matana.
Hamparan territorial yang berada dalam lingkup wilayah dengan batas-batas geografik di atas, atau lebih dikenal dengan istilah bekas wilayah kerajaan Konawe dan Mekongga, saat ini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Konawe (termasuk kabupaten persiapan Konawe Utara dan pulau Wawonii), Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Kolaka Utara.
Disadari oleh penulis bahwa terkait dengan klaim ranah budaya Tolaki di atas, terdapat perbedaan persepsi di seputar beberapa wilayah yang secara khusus – karena faktor peristiwa kesejarahan tertentu – dikenal pernah menjadi basis intervensi kepentingan politik kerajaan lain, atau pernah menerima pengaruh intervensi geo-politik dari pemerintah Kolonial Belanda, seperti pada beberapa wilayah yang saat ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Konawe bagian Utara.
Di Kabupaten Kolaka Utara, beberapa wilayah yang dikenal dengan istilah Patampanua, pernah diinvasi dan diduduki oleh tentara kerajaan Luwu sewaktu membantu pemberontakan Kerajaan Mekongga (dimasa Lombo-Lombo) yang hendak memisahkan diri dari hegemoni Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha. Namun, upaya pemberontakan dan pendudukan tentara Luwu tersebut berhasil dipatahkan oleh Taridala (Panglima Angkatan Darat Kerajaan Konawe bergelar Kapita Anamolepo), yang bersama dengan 7,000 pasukan, berhasil merebut kembali dan mengembalikan wilayah Patampanua ke-pangkuan kerajaan Konawe.
Dalam versi serupa diceritakan bahwa pengaruh kerajaan Luwu di wilayah Mekongga telah hadir sejak abad XVI, yakni pada masa pemerintahan Mokole Lamba-Lambasa. Pada masa ini, kerajaan Luwu menempatkan seorang dutanya bergelar Mincara Ngapa di wilayah Mekongga bagian utara (daerah KondeEha) dengan tujuan untuk mempererat hubungan politik antara dua kerajaan.
Kuatnya pengaruh Luwu di wilayah tersebut (Kolaka Utara) juga terkait dengan hikayat klasik yang menceritakan bahwa raja-raja yang pemerintah di kerajaan Mekongga berasal dari dinasti Larumpalagi yang termasuk dalam keluarga Sawerigading. Selain itu, fakta sejarah juga menceritakan bahwa sebelum terbitnya PP Nomor 34 Tahun 1952 tentang pembentukan Kabupaten Sulawesi Tenggara, wilayah Kolaka pernah menjadi bagian administratif dari wilayah onder afdeling Luwu, Sulawesi Selatan.
Meski demikian, terlepas dari beberapa peristiwa sejarah di atas, wilayah kerajaan Mekongga (Kolaka) itu sendiri pada awalnya merupakan bagian integral dari wilayah kekuasaan formal kerajaan Konawe. Kedekatan Mekongga dengan Luwu justru berlangsung pada saat kerajaan Mekongga berusaha memisahkan diri dari kekuasaan kerajaan Mekongga. Dengan kata lain, pada saat itu, kerajaan Mekongga sedang mencari simpati serta dukungan politik dan militer dari kerajaan Luwu untuk dapat melawan kerajaan Konawe, oleh sebab kerajaan Konawe pada saat yang sama diketahui telah menjalin hubungan militer dengan kerajaan Bone.
Terkait dengan ihwal pertikaian Konawe – Mekongga di atas, dalam tulisannya tentang Haluoleo, Zahari Mulku (1980 : 70) menceritakan bahwa setelah Haluoleo berhasil mengalahkan Banggai, dalam perjalanan pulang, Haluoleo singgah di Konawe yang pada saat itu sedang terjadi pertikaian dengan Mekongga. Melihat hal itu, Haluoleo turun tangan menyelesaikan pertikaian tersebut yang akhirnya dimenangkan oleh Konawe.
Dari riwayat singkat di atas terlihat bahwa wilayah Kolaka (termasuk Kabupaten Kolaka Utara saat ini) yang kemudian dikenal sebagai bekas wilayah kerajaan Mekongga itu, sebelum masuknya pengaruh Luwu, merupakan bagian dari kerajaan Konawe. Dalam hal kerajaan Mekongga terlepas dari hegemoni geo-politik kerajaan Konawe sekalipun pun, wilayah Kolaka tersebut, secara historis, tetap dapat dikategorikan sebagai bagian dari ranah Budaya Tolaki, oleh sebab hegemoni geo-politik dari kedua kerajaan itu (Konawe dan Mekongga), tetap identik dengan klaim pemilikan wilayah geografik Kolaka oleh kelompok etnik Tolaki yang secara kelembagaan diwakili oleh pihak kerajaan (Konawe dan Mekongga).
Terkait dengan bias-bias perbedaan persepsi tentang ranah budaya Tolaki di daerah Kabupaten Konawe bagian Utara, Abdurrauf Tarimana – seperti dituturkan kembali oleh Muslimin Su’ud, menceritakan bahwa wilayah Asera (termasuk Wiwirano, Routa dan sekitarnya – penulis) pernah diinvasi dan berusaha direbut oleh tentara Bungku Selatan dari tangan kerajaan Konawe (kerajaan Bungku Selatan pada saat itu merupakan wilayah fazal dari kerajaan Ternate). Atas perintah Tebawo (Raja Konawe ke XXXIII), panglima Taridala ditugaskan untuk memadamkan perlawanan pasukan Bungku Selatan dan akhirnya berhasil merebut kembali wilayah Asera. Namun, segera setelah wilayah ini berhasil direbut kembali, utusan dari kerajaan Ternate datang menemui Raja Tebawo untuk meminta kembali sebagian wilayah Asera yang telah ditaklukkan oleh Taridala, yakni wilayah Salabangka dan sekitarnya. Atas perkenaan sepihak Raja Tebawo, sebagian wilayah Asera itu pun, kembali diserahkan kepada kerajaan Bungku Selatan.
Peristiwa penyerahan kembali wilayah tersebut memicu perselisihan antara Raja Tebawo dan panglima Taridala. Akibatnya, bersama dengan 400 orang pasukan, Taridala mengasingkan diri secara diam-diam ke wilayah Sulawesi bagian tengah, untuk kemudian mendirikan kerajaan baru bernama kerajaan Kulawi. Di Sulawesi Tengah, pendiri kerajaan Kulawi (yakni Taridala) lebih dikenal dengan nama Tadulako (artinya, panglima yang sedang bepergian).
Dari peristiwa sejarah di atas, penulis berpendapat bahwa meskipun pernah berstatus sebagai daerah pendudukan kerajaan Bungku Selatan, wilayah Asera dan sekitarnya tetap termasuk dalam kategori ranah budaya Tolaki, oleh karena wilayah tersebut sejak awal merupakan bagian integral dari wilayah kekuasaan formal kerajaan Konawe.
Beberapa Kategori Kultural
Secara turun temurun, ranah budaya Tolaki terbagi atas beberapa kategori atau sub wilayah kultural, yakni – seperti yang dikenal dengan istilah-istilah - kampung halaman (o kambo), kampung lain (suere nggambo), tanah Konawe (wuta i Konawe), tanah Mekongga (wuta i Mekongga), dan wilayah ando’olo (i ando’olo). Kelima kategori ini merupakan bagian integral dari satu kesatuan wilayah ‘tanah Tolaki’ yang dikenal dengan istilah andolaki atau wuta ndolaki. Wilayah yang berada di luar dari keempat kategori atau sub wilayah kultral itu disebut dengan istilah suere wonua (negeri lain).
Kampung halaman (o kambo) adalah tempat bermukim dan tempat lahir yang biasa juga dianggap sebagai tempat asal para leluhur. Untuk kondisi sekarang, tempat atau wilayah ‘o kambo’ dikenal dengan nama sebuah desa atau nama gugusan desa-desa tertentu yang masih berada dalam lingkaran asal muasal leluhur yang sama. Misalnya, warga Tolaki yang saat ini bermukim di desa Ameroro, Rawua, Anggopiu, Amaroa, Tamesandi dan desa-desa di sepanjang daerah aliran sungai Ameroro, seperti desa Ulu Ameroro, Singgere, Ambapa, Wakobu dan Tamosi, serta yang bermukim di desa Tawarotebota, Uepai, Asaki, Momea, Konawe, Tudaone dan Hudoa (Bungguosu), biasa disebut dengan orang-orang Uepai (to Uepai), demikian pula warga Tolaki yang bermukim di desa Kapoiala, Sambara Asi, Labotoy, Tombawatu dan Muara Sampara, biasanya hanya dikenal dengan sebutan identitas kelompok sebagai orang-orang Kapoiala (sebagai desa induk tempat asal muasal leluhur).
Di mata orang Tolaki tradisional, o kambo dianggap sebagai tanah tumpah darah dengan sistem sosial yang relatif homogen serta dengan tingkat solidaritas sosial yang tinggi. Seluruh warga yang berada diwilayah ini berada dalam ikatan genealogis yang dekat, yakni seluruhnya merupakan anggota rumpun keluarga besar tertentu. Warga yang masih sedang berada (berdiam) di wilayah o kambo disebut istilah ‘me anggambo’, dan penguhuni aslinya disebut dengan istilah “mbu kambo”. Warga yang bertandang dan bermukim di kampung lain disebut dengan istilah ‘lako mesuere nggambo’, atau yang sedang merantau ke daerah lain disebut dengan istilah ‘lako mesuere wonua’. Warga dari luar yang datang bertandang atau bermukim di wilayah o kambo, sering disebut dengan istilah ‘toono ari suere nggambo’ (pendatang dari kampung lain/untuk sesama warga Tolaki) atau toono leu (pendatang dari daerah lain, baik untuk sesama warga Tolaki maupun untuk warga migran).
Sentimen nama kampung asal sangat terasa dalam mobilitas horizontal orang Tolaki. Hal ini terbukti dari banyaknya nama kampung asal (desa tua) yang dibawa serta untuk dilekatkan menjadi nama desa pada wilayah baru yang dihuni. Misalnya, warga Tolaki dari kampung asal Latoma dan Ambekairi, ketika pindah dan bermukim di wilayah kota Unaaha, mereka membentuk desa (sekarang kelurahan) dengan nama yang sama dengan nama kampung asalnya, yakni kelurahan Latoma dan kelurahan Ambekairi. Demikian pula untuk berbagai unit desa, terutama di Kabupaten Konawe, hingga saat ini, masih mengambil nomenklatur nama desa tua darimana mayoritas warga Tolaki setempat berasal.
Persepsi atau image warga Tolaki terhadap kampung asalnya (kambo) relatif sangat positif. Hal ini tergambar dari ungkapan-ungkapan klasik yang berbunyi “mano ke’aro’a ano mesawuako marasai, asala la me’anggambo, meamboipo ano amba toro kawasa ine suere kambo/wonua, Artinya, hidup berselimut kelalaparan dan kemiskinan di negeri sendiri, lebih baik dari pada hidup bergelimang kekayaan di kampung atau negeri orang. Sebaliknya, semakin jauh sebuah wilayah dari lingkaran o kambo, image warga Tolaki pun semakin ‘negatif’. Hal ini tergambar dari pemakaian istilah suere sonua (negeri lain) untuk daerah-daerah di tanah air yang berada di luar ranah budaya Tolaki.
Dalam komunikasi warga Tolaki sehari-hari, istilah suere wonua yang paling populer sering diidentifikasi dengan istilah ‘wuta bugisi’ (tanah bugis) atau ‘i manggasa’, yakni berbagai daerah di Sulawesi Selatan, serta ‘wuta dawa’ (tanah jawa), yakni berbagai daerah di pulau Jawa. Kecuali dalam beberapa tahun terakhir, daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara dan yang lainnya, kurang akrab dalam komunikasi warga Tolaki sehari-hari, khususnya ketika menyinggung daerah tujuan bepergian untuk waktu yang cukup lama.
Suere wonua, dalam persepsi rata-rata orang Tolaki, sering dicitrakan sebagai wilayah milik orang lain (toono suere), yang karenanya dianggap kurang menjanjikan suasana kehidupan yang layak atau milliu (lingkungan) sosial yang baik, seperti suasana kekeluargaan atau kekerabatan sosial yang utuh. Selain itu, suere wonua juga sering digambarkan sebagai daerah yang keras, sumpek dan tidak bersahabat. Image negatif seperti ini yang lalu menyebabkan kebanyakan warga Tolaki enggan meninggalkan kampung halamannya atau enggan merantau ke negeri seberang untuk membangun kehidupan sosial yang baru.