Leo Haks dan Guus Maris, Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia 1600-1950 (Archipelago Press & Gert Jan Bestebreurtje, Singapore & Utrecht: 1995) 528 halaman.
KHAZANAH seni rupa Indonesia mengidap kekurangan mendasar: tak mempunyai kumpulan data dasar yang luas. Akibatnya banyak pembicaraan dan polemik cuma bertolak dari ancangan kira-kira: tak dilandasi pengetahuan sejarah seni rupa memadai. Para perupa juga terlalu gampang mengklaim "pembaruan", seakan mereka tonggak nilai yang belum pernah ada sebelumnya.
Salah satu anggapan yang sering diulang-ulang sampai kini adalah bahwa seni rupa modern Indonesia tumbuh sejak Sudjojono dan kawan- kawan mendirikan Persagi di tahun 1938. Mereka bereaksi keras terhadap lukisan jenis Mooi Indie (Hindia Molek), yang cuma menampilkan alam dan manusia Hindia Belanda yang diindah-indahkan. Terhadap seni rupa bercorak kolonialistik-orientalistik ini, Persagi menampilkan prinsip dan karya yang mencerminkan ciri nasional.
MEMANG terlalu sedikit yang diketahui tentang "prasejarah" seni rupa modern Indonesia. Sesungguhnya, tak seluruh seni rupa di zaman Sudjojono bersifat Mooi Indie. Modernisme yang pahit pun berkembang di zaman itu. Modernisme adalah paham yang tak mengutamakan keindahan dan romantisisme dan juga, seperti yang dinyatakan Sudjojono, memperlihatkan jiwa penciptanya. Beberapa pelukis modernis penting yang berkiprah di Batavia di awal abad ini antara lain John Sten (Swedia), Alexander Kulesh (Rusia), dan Jan Toorop (Belanda).
Bahkan modernisme demikian diwadahi lembaga berwibawa seperti Bataviasche Kunstkring. Pameran tunggal Kulesh pada tahun 1937 diadakan di sana, sekalipun karyanya yang modernis itu (yang mencerminkan pengaruh konstruktivisme Rusia) tak diterima khalayak seni rupa Batavia. Di masa itu pula, surat kabar Jaya Bode bukan hanya mempunyai kritik seni rupa berwibawa, tapi juga menampilkan drawing modernis bermutu tinggi.
Berbagai data "aneh" semacam itu dapat ditemukan pada Lexicon yang berisi 3.000 nama perupa yang selama 1600-1950 berkarya tentang Indonesia. Menelusurinya dengan teliti, pembaca mendapatkan gambaran "prasejarah" seni rupa modern Indonesia, yang memang tak bermula dari titik nol. Maka bisa disimpulkan, misalnya, bahwa Persagi bukanlah satu-satunya kelompok modernis di alam penjajahan itu. Perannya lebih sebagai pemrakarsa nasionalisme kebudayaan.
Data dasar dengan 207 halaman khusus reproduksi hitam putih dan berwarna ini lahir dari kebutuhan yang sungguh-sungguh praktis. Dua orang pedagang seni Belanda, Leo Haks dan Guus Maris, memerlukan rujukan yang tepat mengenai pelbagai karya seni yang mereka lihat atau tangani. Menyadari buku semacam itu tak ada, mereka melakukan riset sendiri bertahun-tahun, dengan pelbagai cara.
Cakupannya luas: sejak seni rupa yang murni sampai yang berkait dengan kepentingan lain. Di sini pembaca dapat menemukan para ilmuwan penting seperti Rumphius (1628-1702) dan Junghuhn (1809-64), yang membuat sendiri ilustrasi untuk buku mereka. Juga beberapa perupa (dengan karya etsa, litografi, cat minyak) yang menggambarkan situasi di kota atau pedalaman pada awal kolonialisme Belanda.
Haks dan Maris memasukkan juga kartun satir sosial, sampul buku, gambar dinding, poster pariwisata, iklan tembakau, kalender, propaganda, desain prangko dan mata uang, serta sedikit patung. Juga gambar amatir yang dibikin oleh mereka yang ditahan di kamp Jepang selama 1942-1945. Rupanya banyak pelukis terkemuka di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bekerja sebagai desainer dan ilustrator.
Keluasan cakupan itu menunjukkan "tradisi" seni rupa yang luas dan sinambung yang menyatu dengan kolonialisme dan orientalisme, tapi yang sebagian fasetnya berhasil meloloskan diri sebagai seni- sebagai-ekspresi.
Dalam hal ini penting dicatat kehadiran pelukis asal Belgia AAJ Payen (1792-1853), sahabat Raden Saleh. Ia menjelajahi Hindia Belanda dan berkarya untuk Komisi Ilmu-ilmu Alam. Jelas, lukisan- lukisannya seperti Sebuah Pasar Dekat Bogor dan Upacara Perkawinan, mengandung nilai obyektif (ilmiah), namun di lain pihak juga menggayakan kenyataan. Payen, bersama Raden Saleh, yang tumbuh dalam asuhan Romantisisme, tak pelak merupakan pengawal tradisi seni rupa tinggi (high art) di Hindia Belanda. Tradisi yang sebuah cabangnya kelak dikecam Sudjojono: Mooi Indie.
Tapi, Mooi Indie bukan aliran resmi. Di awal abad ini, Hindia Belanda juga menampung kaum modernis dari segala penjuru. Misalnya, Pieter Ouburg (Belanda), Miguel Covarrubias (Meksiko) dan Emil Nolde (Jerman); mereka ini perupa modernis terkemuka di negeri masing- masing. Juga si petualang berbakat besar, Walter Spies, yang tak puas dengan lingkungan seni avant-garde di Jerman, yang kemudian merangsang pertumbuhan seni rupa Bali. Bahkan Bataviasche Kunstkring juga menaja beberapa pelukis "realisme pahit" Belanda seperti Joanna de Bruijn, Frans Anchoni Cleton, dan Wolff-Schoemaker.
TENTU, buku tebal ini dihantui juga oleh nama-nama yang menjadi incaran kolektor: Le Mayeur, Willem Dooyewaard, Roland Strasser, Ernest Dezentje, WJF Imandt, misalnya. Tapi bukan hanya itu. Bahkan Rembrandt, Toulouse-Lautrec, Paul Gauguin dan Karel Appel yang tak pernah berkunjung kemari, menghasilkan karya bertema Indonesia. Yang mencolok adalah karya Gauguin berjudul Annah Orang Jawa: seorang wanita telanjang, duduk di kursi, menghadap ke depan. Juga Appel, yang di tahun 1940-an melukis seri Darah Kampung untuk mengecam Aksi Militer Belanda.
Indeks Lexicon mestinya bukan hanya indeks nama artis yang ilustrasinya disertakan. Demi penelitian yang lebih luas dan mendalam, mestilah ada indeks yang meluas mencakup museum, lembaga seni, akademi seni, media, dan hal-ihwal lain yang erat bersangkutan dengan produksi dan penyebaran seni rupa. Agar kumpulan data dasar ini tak cuma berguna bagi kaum kolektor, pedagang seni dan pecinta buku-seni.
Layaklah buku ini menantang para peneliti seni rupa Indonesia membuat data dasar mutakhir yang lebih luas lagi, yang menyangkut kegiatan seni rupa dalam negeri maupun kaitan internasionalnya. Pekerjaan ilmiah ini tentulah awal dari penilaian seni rupa yang sehat. Hanya dengan begini barangkali, Indonesia bakal mengalami pluralisme sebenarnya, yakni banyaknya ragam seni rupa yang bersaing sehat. Bukankah dalam riuh-rendah seni rupa 10 tahun terakhir ini, yang terjadi cuma relativisme: sifat gampang-gampangan dalam menilai?